Senin, 11 September 2017

UNDANGAN DAN KEIKHLASAN

Rudiyansyah, kawan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengirim pesan WA pada Kamis, 7 September 2017 lalu. Isinya berupa caption foto undangan pernikahannya dan denah lokasi akad plus resepsinya. Rudi akan menikah pada hari Minggu, 10 September 2017. Calon mempelai perempuannya Vina Oktavia, yang juga teman saya di AJI Bandar Lampung. Lokasi akad dan resepsinya bertempat di kediaman Vina, di daerah Natar dekat Flyover Pasar Natar kabupaten Lampung Selatan.

Saya membaca dengan perlahan. Setelahnya sangat mengamini. Saya ikut berbahagia dan  mendoakan yang terbaik bagi mereka berdua. Bersamaan itu pula, saya serasa mengalami dejavu. Ensiklopedia online Wikipedia.org menulis dejavu dari bahasa Perancis, secara harfiah berarti pernah dilihat yaitu fenomena merasakan sensasi kuat bahwa suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini sedang dialami sudah pernah dialami di masa lalu. Dejavu (masih menurut Wikipedia.org) adalah suatu perasaan telah mengetahui dan deja vecu (perasaan “pernah hidup melalui”) sesuatu adalah sebuah perasaan mengingat kembali.

Undangan Peluncuran Buku 25 Tahun Kabupaten Lambar
Saya jadi teringat pada tanggal 17 Maret 2017 lalu. Kapan ya? Pagi atau sore, masuk sebuah pesan WA dari Rudi. Dalam pesan yang dia kirim ada caption foto undangan dan gambar sebuah buku. Rupanya itu foto undangan peluncuran buku Secangkir Kopi Bumi Sekala Brak Jejak Langkah 25 Tahun Kebangunan Lambar. Tertulis informasi bahwa saya diundang pada acara peluncuran buku yang akan digelar di Hotel Emersia, Bandar Lampung pada 18 Maret 2017. Bagian kanan bawah ditandatangani Bupati Lampung Barat – saat itu – Mukhlis Basri.

Saya diundang karena menjadi salah satu penyumbang artikel dalam buku tersebut. Bisa dibayangkan betapa senangnya hati kala membaca undangan tersebut. Sebab saya telah menunggu lama. Saya kerap bertanya kepada kawan yang bekerja di Lampung Post (ya sebagai yang diberi mandat untuk menyusun dan menerbitkan buku) kapan bukunya akan diluncurkan atau sudah jadi belum? Sudah sejak bulan November atau Desember 2016 saya menanyakannya. Dan ketika bulan Maret 2017 diluncurkan tak heran perasaan saya berkata wow, akhirnya!

Tapi bersamaan itu saya juga menangis lirih. Saya tak mungkin menghadirinya. Mengapa? Karena kondisi yang memang belum memungkinkan. Saat undangan itu datang, saya sedang di Jakarta, menjalani masa pemulihan setelah opname dari Rumah Sakit (RS) Kramat 128 karena penyakit lupus. Sebulan saya diopname disana bahkan sempat mengalami kondisi kritis alias koma. Ketika keluar dari rumah sakit, saya belum mampu berdiri dan berjalan sendiri. Saya menduga hal ini terjadi lantaran (salah satunya) bobot tubuh yang susut banyak.

Berat normal yang 46 kilogram, sekeluarnya dari rumah sakit menjadi 40 kilogram. Saya kurus sekali. Tulang yang nampak, sementara daging hanya secuil. Tungkai kaki saya, aduh mak – langsing sekali kayak gagang sapu ijuk. Kalau yang lebih berkelas sih mirip model catwalk. Tapi kalau mereka kan karena tuntutan profesi. Lha saya? Berbeda. Untuk bangun (berdiri) saya mesti dibantu oleh asisten rumah tangga (ART). Ada kalanya sampai dibopong. Ini kalau mau naik atau turun mobil saat hendak dan pulang dari rumah sakit. Kemana-mana, saya harus pakai kursi roda yang didorong oleh ART.

Makanya gimana saya nggak sedih dan jadi antiklimaks, dikala saya mampu berjalan – bukunya belum rampung. Ketika bukunya rampung dan siap diluncurkan eh saya nya yang “nggak siap”. “Rasanya nggak berdaya ya, mbak,” kata Mbah Diah, kawan saya di grup WA Lima Dasar Hidup Sehat (LDHS) beberapa waktu lalu. Iya, benar dan yang bisa saya lakukan hanyalah menangis. Duduk diatas ranjang dan menangis sambil mengelap ingus yang keluar dari hidung. Saya masih ingat, Mbak Siti (asisten rumah tangga yang mengurus saya saat itu) sampai bertanya kenapa saya menangis?

Lantaran nggak mood dan larut dalam kesedihan saya diamkan saja. Saya hanya menggelengkan kepala. Biarlah saya pendam sendiri. Sampai malam saya tak bisa tidur. Padahal itu malam minggu yang bagi sebagian orang justru menjadi malam berbahagia, yang masih pacaran – saatnya wakuncar doi. Yang sudah berkeluarga saatnya kencan lagi dengan istri atau suami.

Namun perlahan saya bisa melupakannya. Sambil dihibur-hibur tante yang mengatakan bahwa pasti ada kesempatan lain acara serupa.

Rudiyansyah dan Vina Oktavia
Kembali ke soal undangan pernikahan Rudi dan Vina, walau serasa dejavu karena saat menerima pesannya itu, sedang di Jakarta – ada perbedaannya. Kali ini ketika menerimanya saya (bersyukur) tak lagi menangis seperti di bulan Maret itu atau menyimpan pedih di dalam hati. Mengapa? Karena perlahan seiring waktu berjalan dan dari pengalaman yang sudah-sudah, saya belajar dan diajarkan kembali untuk; a) realistis. Realistis karena tak mungkin toh saya berada di dua tempat yang jaraknya dipisahkan lautan secara bersamaan. Sekarang ini, meskipun saya telah bisa berdiri dan berjalan seperti sedia kala dulu, tetap saya harus menjalani rawat jalan atau kontrol lupus sekali dalam sebulan. Dokter saya – internis hematologi – berpraktek di Rumah Sakit Kramat 128, Jakarta Pusat maka sekali dalam sebulan saya berangkat ke Jakarta untuk ngapelin doi.

Berobatnya sih pakai BPJS sehingga biaya dokter, resep obat (tapi tidak semua lho) atau tindakan medis lainnya, misalnya cek darah dan urine di laboratorium, saya tak perlu membayar. Hanya ada konsekuensi lain. Apa? Waktunya lebih lama. Kalau di RS Kramat 128, antara satu tindakan medis ke tindakan medis lain baru dapat dilakukan setelah menunggu 8 hari. Contohnya begini; tanggal 11 September saya periksa ke dokter. Oleh dokter saya disuruh cek darah dan urine. Tidak bisa besok cek darahnya. Baru bisa hari Selasa minggu depannya atau sesudah Selasa.

Jadi untuk keperluan kontrol penyakit ini, saya bisa sekitar dua mingguan di Jakarta. Bisa juga lebih lama, apalagi jika pakai dirujuk ke dokter spesialis lain. Praktis waktu saya banyak tersita di Jakarta daripada di Lampung. Sedangkan undangan atau acara-acara sampai saat ini kebanyakan masih di Lampung. Jika dirunut ada beberapa acara yang tak dapat saya ikuti karena digelar bersamaan saat saya di Jakarta, seperti acara HUT AJI Bandar Lampung (27 Agustus 2017) dan lain-lain.

Lalu b) Ikhlas. Ya realistis harus dibarengi keihklasan menerima dan ini paling utama. Sebab jikalau tidak demikian, diri sendiri yang menjadi susah. Hati jadi berat karena memendam kekecewaan yang bertubi-tubi. Saya cinta tubuh sendiri, saya sayang dengan hati saya dan tak mau membebaninya, lebih-lebih lagi menyakitinya.

Pada hari Minggu pagi, 10 September 2017 bertubi-tubi masuk pesan WA ke hp saya. Percakapan grup AJI Bandar Lampung. Kawan-kawan sedang sibuk menentukan waktu berkumpul hari itu untuk berangkat ke pernikahan Rudi dan Vina. Rencananya mereka mau berkumpul dulu di Sekretariat AJI Bandar Lampung di Kaliawi, Tanjung Karang lalu berangkat bareng ke Natar. Ada yang sudah standby di Sekret AJI, ada yang minta ditunggu, ada yang masih dijalan, ah macam-macam. Juga ada yang berencana mengajak emaknya, hehehe.

Selain itu juga soal menentukan kendaraan yang hendak digunakan berangkan bareng ke lokasi pernikahan. Awalnya mau pesan Gocar, tak lama datang kabar bahwa Padli Ramdan (Ketua AJI Bandar Lampung) bisa bawa mobil lantaran dapat pinjaman mobil mertua. Ada lagi yang minta dikirimi foto akad pernikahan Rudi dan Vina.

Saat membaca segala pesan WA yang masuk di grup, saya sedang di Halte Busway Pramuka LIA Jakart - menunggu busway. Sambil tersenyum-senyum membacanya dan ada sedikit rasa protes. Seharusnya saya ikut bersama mereka, bukan disini – seorang diri menunggu busway yang tak kunjung tiba. Namun segera tersentak. Sudahlah, faktanya sekarang saya sedang di Jakarta (menjalani rawat jalan - realistis) jadi ikhlaskanlah. Nikmati yang ada dan sedang saya jalani saat ini.

Akan tetapi dari jauh dan lubuk hati terdalam sekali lagi saya mengucapkan selamat menempuh hidup baru untu Rudi dan Vina. Juga dua orang kawan AJI lainnya yang di bulan ini pun akan melepas masa lajang Wakos (dan Zahara) pada 17 September 2017, Dian (dan Lutfi) pada 18 September 2017. Saya ikut berbahagia (Rawasari - Jakarta, 11 September 2017).

     

Rabu, 06 September 2017

NASI UDUK BU MAR

Bu Mar sedang melayani seorang pembeli nasi uduk yang makan ditempat
Hore! Akhirnya kesampaian juga mencicipi nasi uduknya Bu Mar, hati kecil saya berkata demikian pada Senin 4 September 2017 lalu. Nasi uduk, makanan tradisional yang satu ini begitu mudah ditemui di seluruh Indonesia. Biasanya dijual pada pagi hari sebagai sarapan atau mulai sore hari sebagai makan malam, tentunya. Beberapa malah ada yang menjual sepanjang hari alias nasi uduk 24 jam ala-ala minimarket Seven Eleven yang telah almarhum di Jakarta. Kalau di Jakarta, nasi uduk lebih yahud lagi, pasalnya memang dari sinilah nasi uduk yang telah mengidonesia tadi bermula. Nasi uduk merupakan salah satu makanan khas betawi.

Di Jakarta sendiri tersebar berbagai penjual nasi uduk yang telah melegenda, misalnya Nasi Uduk Kebon Kacang, Nasi Uduk Gondangdia, dan lain-lain. Saya sih baru sebatas tahu namanya saja. Belum lah sampai icip-icip kecuali Nasi Uduk Gondangdia. Saya sempat mencoba nasi uduk tersebut di bulan Juni 2017 lalu.

Saya lebih sering mencoba nasi uduk yang biasa saja. Toh bukan jaminan juga bahwa nasi uduk tak punya nama tidak enak pun sebaliknya yang punya nama pasti enak. Soal nasi uduk, menurut saya adalah selera pribadi. Nah bagaimana dengan Nasi Uduk Bu Mar yangsaya sebut-sebut tadi?

Sebenarnya saya baru tahu Nasi Uduk Bu Mar dari postingan kawan yang senior di AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, Hasudungan P Sirait di facebooknya. Kapan ya? Oh kalau tak salah sekitar awal Agustus. Bang Has (sapaan akrabnya) meng-upload sejumlah foto sedang duduk di kursi tempat Nasi Uduk Bu Mar berjualan. Pada latar belakang fotonya nampak seorang ibu tua berhijab yang saya duga Bu Mar alias penjual uduknya dan berbagai wadah berisi lauk-lauk peneman nasi uduknya.

Sepotong saja informasi yang saya ingat dari postingan foto tadi: menikmati Nasi Uduk Bu Mar di Jalan Kramat Raya. Wah ternyata di Jalan Kramat Raya ada nasi uduk toh kalau pagi. Mengapa saya sebegitu tertariknya? Pasalnya saya kerap melewati jalan tersebut dan tempat Bu Mar menggelar dagangannya saya sangat akrab. Di emperan bangunan yang sudah tua. Saya cukup sering lewat emperan tersebut, biasanya kalau mau fotokopi (berkas-berkas persyaratan adminstrasi untuk daftar berobat di Rumah Sakit Kramat 128) ke toko fotokopi yang ada sejajar dengan bangunan tua tadi atau ke Bank Mandiri yang malah satu kompleks dengan bangunan tua tadi. Saya selalu merasa gimana gitu, penasaran tepatnya kalau kerap melewati suatu tempat dan disitu ada hal yang baru saya ketahui keberadaannya.

Bu Mar sedang melayani seorang pembeli nasi uduk ketika saya tiba disitu hampir pukul 8 pagi. Tangannya cekatan menyendok lauk-lauk yang ditunjuk oleh pembelinya. Ada orek tempe, tempe goreng, mie goreng, sambal, sepintas yang saya lihat dalam kertas pembungkus nasi yang dipegang oleh Bu Mar. Ketika akhirnya sudah cukup jumlah lauk yang dipilih si pembeli, Bu Mar pun membungkus nasi uduk tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik kresek bening nan mungil. Dalam kresek tersebut telah terdapat sebungkus kecil kerupuk aci, peneman nasi uduk.

Setelah membayar, barulah Bu Mar melayani saya. Karena saya memilih makan disitu, maka dia mengambil piring yang terbuat dari ayaman lidi dan dialasi oleh selembar kertas nasi. Tangannya lantas membuka bakul nasi yang berada diujung meja. Kecil kok. Saya heran saja, sebab biasanya kebanyakan pedagang nasi uduk yang saya temui menyetok nasi uduknya pakai bakul besar.

Saya memilih lauk telur dadar yang diguyur sedikit sambal goreng. Sebelumnya sudah ada orek tempe disitu. Oya, juga sedikit mie goreng dan sambal kacang. Tak lupa kerupuk aci. Saya lalu duduk dikursi dekat situ. Seorang bapak-bapak paruh baya sibuk menuangkan teh ke gelas lalu gelas yang telah penuh air teh dan bertutup tadi ditaruh dekat dinding bangunan. Rupanya bapak paruh baya tadi ialah Pak Mar yang tak lain adalah suaminya Bu Mar.

Boleh juga, batin saya – menilai rasa - sesudah menyendok sesuap nasi uduk ke mulut. Sambil melahap nasi uduk, saya mengajak obrol Bu Mar. Dia sibuk melayani pembeli tapi juga terkadang bengong menunggu pembeli. “Ibu namanya Bu Mar ya?” Tanya saya membuka percakapan. Dan Bu Mar yang telah berusia 56 tahun itu mengiyakan sambil tersenyum. Kedua matanya agak menyipit dan ada guratan-guratan usia tua diujung kedua matanya.

Lalu saya pun menyakan berapa lama dia telah berjualan disini. Agak kaget juga, awalnya saya kira beliau sudah puluhan tahun. Eh ternyata baru sekitar lima tahun. Namun saya menangkap hal lain dari raut wajahnya. Yah walau baru lima tahun, wajahnya menyiratkan betapa telah ditempa dalam hal dapur dan pernasidukan. Dari bibir Bu Mar mengalir lancar tentang nasi uduknya.

Bu Mar yang memiliki dua anak ini membuat seluruh nasi uduk plus lauk pauknya seorang diri dan dibantu suami. Pukul 12 alias tengah malam, ketika kita sedang berasyik masyuk di alam mimpi, Bu Mar telah melek untuk memasak nasi uduknya. “Selesainya jam 4 pagi”, katanya. Habis itu dia beberes dan setelahnya membawa seluruh hasil masakan kesini untuk dijual. Beres berdagang sekitar pukul 08.30 pagi. Kegiatan paska berdagang nasi uduk dipagi hati, tak ada. “Paling hanya ngemong cucu saja”, katanya.

“Ibu masak nasinya hanya segini atau masih ada lagi?” Tanya saya sambil menunjuk bakul nasi uduk yang kecil itu. “Bawa segini aja. Masaknya dikit. Cuma 8 liter”, jelasnya. Dikatakannya, 8 liter sekira 800 gram lah – sedikit, tak sampai satu kilogram. Loh kok dikit amat ya? Bu Mar yang masih energik itu menjelaskan bahwa dia memang biasa masak segitu, nggak masak nasi uduk banyak-banyak. Dia juga nggak bikin nasi kuning. Kan biasanya ada tuh pedagang nasi uduk yang juga jualan nasi kuning bahkan nasi ulam. Kedua nasi tadi itu dibikinnya hanya kalau ada pesanan saja.

Soal pesanan ini, Bu Mar lantas bercerita bahwa hotel dekat daerah Kramat pernah memesan nasi uduk buatannya untuk menu sarapan pagi. Tapi dia tak menyebutkan detil kapan waktunya dah hingga berapa lama. Adapun nasi uduknya merupakan perpaduan Jawa dan Betawi. Sebab ada dua macam sambal yang disediakan yakni sambal goreng dan sambal kacang. Nah sambal kacang ini yang merupakan khas dari nasi uduk ala Betawi. Bu Mar memasukkan selera Betawi dalam nasi uduknya bukan karena dia tinggal di Jakarta saja. “Kalau saya asli Jawa. Kalau suami asli orang Betawi”, Jelasnya. O jadi begitu, pengaruh faktor rumah tangga.

Bu Mar melayani pembeli ketupat sayur
Seorang perempuan kantoran menghampiri Bu Mar. Perempuan itu memesan lontong sayur satu porsi dan dibungkus. Ya, selain nasi uduk – lontong sayur lah yang dijual oleh Bu Mar dan sama seperti nasi uduk, dia hanya membuat sayur lodeh untuk lontong dalam bakul sayur. Eh salah ding, ternyata bukan lontong. Ketupat sayur yang dijual Bu Mar.

Selang 15 menit kemudian seorang lelaki muda membeli uduk untuk dimakan ditempat. Saya lihat, betapa lahapnya lelaki itu makan nasi uduknya. Duh kalau begini, siapa yang tidak ngiler ya. Disela-sela keterbengongan saya, Bu Mar bertanya saya ngapain disini?

“Oh saya habis dari RS Kramat 128 buat daftar ulang berobat”, Jawab saya. Mendengar jawaban saya, Bu Mar kemudian bercerita tentang suaminya yang punya masalah jantung dan semestinya rutin berobat ke dokter dan biasanya juga ke RS Kramat 128. Pak Mar yang dulunya berprofesi sebagai tukang cat duco itu, sudah lama nggak berobat. Ada sekitar  tahunan, katanya.

“Loh kenapa? Ibu ada BPJS kan?” Tanya saya. Sori, bukannya saya meng-endorse BPJS tapi menurut saya memang cukup membantu lah.

Kata Bu Mar sih ada tapi bapaknya yang tidak mau. Bu Mar bilang umur bapak sudah 60 tahun. Ah begitu, saya jadi paham. Memang ada sebagian orang berusia tua yang sakit tapi menolak ke dokter. Pemikirannya karena sudah tua jadi ya wajar penyakitnya jadi biarinin saja deh. Saya nggak bisa ngomong kalau begini.

Setelah menyelesaikan makanan dan membayar, saya tak lekas pergi. Masih duduk disitu, sesekali saya perhatikan Bu Mar yang cekatan melayani pembeli nasi uduk ataupun ketupat sayur. Sementara Pak Mar sigap tanggap menuangkan segelas teh yang lalu disajikan untuk pembeli mereka yang makan ditempat dan kayaknya juga Pak Mar yang bagian cuci mencuci perabot makannya. Kalau sedang tak ada pembeli, Pak Mar mengobrol dengan orang disekitar situ.

Betapa semangatnya mereka bekerja padahal sudah paruh baya ya. Ah semoga keduanya selalu sehat. Rasa kantuk yang masih menghinggapi saya, perlahan berkurang setelah berbicang dengan Bu Mar, melihat keduanya begitu bersemangat dan selalu menebar keramahan kepada pembeli termasuk melayani pembeli bawel macam saya. Kalau ada waktu, yakinlah saya untuk mampir kesana lagi menyantap nasi uduknya. (Jakarta, 6 September 2017)


Senin, 26 Desember 2016

NO BORDERS, Membingkai Kisah Paramedis Humanis

Paramedis (dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya) selama ini kita ketahui sebagai penyelamat nyawa manusia – diluar fakta bahwa itulah yang diwajibkan profesi mereka. Tetapi bagaimana dengan keselamatan mereka sendiri ketika melakukan penyelamatan nyawa manusia lain (pasien)? No Borders Photo Exhibition merekam dalam bidikan foto, mencoba mengingatkannya.
*

Tiga bilik berbentuk persegi panjang berukuran sekira 2x5x2 meter berdiri kokoh mengisi salah satu ruang dari lantai 5 Westmall, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Tiga bilik terbuat dari besi, setengah bagian tengah-bawah sebagai kaki dan setengah-atas memajang foto, bidikan beberapa fotografer. Foto-foto dibingkai dalam cahaya putih. Foto berupa kombinasi antara tunggal dan berseri (photostory).

Pada satu bilik lain berbentuk kubus berukuran 2x2x2 meter – yang bukan memajang foto, terpampang penjelasan mengenai penyelenggara, sejarah, profil penyelenggara. Termasuk alasan pemilihan tema No Borders yang sengaja dipilih untuk mengangkat semangat kemanusiaan yang tidak memandang ras, agama, maupun politik; menyuarakan betapa pentingnya melindungi keselamatan para pekerja kemanusiaan dan rumah sakit di tengah-tengah konflik.

Foto seorang dokter wanita menggendong bayi/Karina Lin
Sebingkai foto panjang menarik perhatian saya. Foto seorang dokter muslim perempuan tersenyum bahagia sedang mengangkat gendong bayi yang baru lahir. Makhluk mungil ini masih dibungkus kain, matanya belum membuka sempurna dengan mulutnya yang seolah hendak berkata hoam. Tidak dicantumkan siapa ibu bayi menggemaskan itu, namun tertulis dilahirkan di rumah sakit daerah konflik.

Ada lagi foto kisah Ahlan, seorang ibu muda usia 22 tahun asal provinsi Dara’a di Suriah. Dia memiliki dua anak yang semuanya dilahirkan di RS Medecins Sans Frontieres (MSF) di Irbid, Yordania. Serta tak dapat diabaikan foto-foto para pengungsi yang lari dari kampung halaman mereka, karena telah berubah jadi daerah konflik. Manusia perahu, begitu label yang disematkan kepada mereka dan bukan perjuangan mudah untuk tiba selamat di land of hope (tanah harapan) versi mereka. Tak jarang, ketika sampai di tanah harapan – individu-individu manusia perahu dalam kondisi tak berdetak.

Tentang ini, teringat saya pada esai Goenawan Mohammad (GM) yang berjudul Foto Itu. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ke ujung ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali ke wilayah Turki. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil ke seantero Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak. (Goenawanmohammad.com, 12 September 2015)

Walau paramedis telah berjibaku nyawa menyelamatkan di tengah lautan berombak tanpa belas kasihan. Pada sisi lain, keselamatan paramedisnya pun terancam terlebih di daerah konflik misalnya Suriah. Dilansir dari dailymail.co.uk (22/6/2016), Paulo Pinheiro, Ketua UN Comission of Inquiry on Syria mengatakan kepada UN Human Rights Council bahwa serangan udara yang menarget rumah sakit dan klinik di seluruh penjuru Suriah telah mengakibatkan kematian warga sipil dan tenaga medis. ”Lebih dari 700 dokter dan tenaga medis terbunuh dalam serangan-serangan atas rumah sakit sejak awal konflik,” paparnya.

Intan, seorang staf dari MSF yang saya temui ketika photo exhibition berlangsung di Jumat, 9 Desember 2016 mengatakan pameran ini adalah kedua kalinya. Setahun lalu (2015) mereka juga mengadakan even serupa. MSF atau Doctors Without Borders sebagai penyelenggara merupakan organisasi lintas batas yang didirikan di Perancis tahun 1971 dan saat ini berkedudukan di Geneva, Swiss. Dokter-dokter yang bergabung dalam MSF berasal dari berbagai belahan dunia. Tak terkecuali dari Indonesia.

MSF dalam kaitannya dengan sejarah kita, ternyata memiliki catatan sejarah yang panjang dan bermakna. Dirujuk dari papan informasi dan peta yang berdiri tak jauh dari pintu masuk ruang foto, saya mencatat sentuhan MSF kepada bangsa Indonesia dimulai tahun 1995. Tepatnya bermula saat gempa Kerinci di Jambi. Sejak itu MSF bekerja menjadi bagian dalam penanganan medis di berbagai program hingga berakhirnya program di 2009.

Papan informasi MSF di Indonesia dan pakaian antiebola MSF/Karina Lin
Gempa Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta di 2006 menjadi dua wilayah bencana yang menjadi bagian kerja dari MSF. Dalam kedua bencana, MSF bekerja mulai dari masa tanggap darurat hingga rehabilitasi.

Selain area kerja wilayah bencana, MSF turut bekerja di wilayah biasa dengan sasaran pelayanan medis dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Beberapa daerah itu antara lain Jakarta untuk penanganan HIV/AIDS dan malaria (2003-2004); Maluku untuk penanganan TBC dan layanan kesehatan air bersih dan sanitasi bagi pengungsi konflik ambon (2003-2007); dan Papua (2006-2009) dengan program peningkatan akses layanan kesehatan untuk para perempuan, ibu dan anak di Asmat.

Begitupun MSF di negara lain. Ada satu foto menampilkan seorang petugas MSF menggendong seorang anak dan tak jauh dari petugas berjalan terdapat plang kayu bertuliskan suspect. Area kerja si petugas adalah negara di Afrika yang terkenal sebagai daerah rentan Ebola sehingga saat melakukan aksi penyelamatan pasien Ebola, petugas kesehatan MSF wajib mengenakan pakaian khusus mirip astronot supaya mereka sendiri tak terkontaminasi wabah Ebola yang notabene pasti membahayakan diri sendiri.

Proses memakai dan melepaskan pakaian khusus tak sesimpel layaknya memakai atau melepas celana legging. Ada prosedurnya kalau tak disebut sebagai ritual dansa, dan staf MSF harus patuh pada koreografi ini.

No Borders Photo Exhibition berlangsung 8-18 Desember 2016 lalu; selama sepuluh hari penyelenggaraan tak hanya pameran foto. Ada diskusi kesehatan dengan narasumber dari MSF dan bintang tamu; dan pemutaran film bertema kemanusiaan dan MSF diiringi diskusi. Even ini memang telah berakhir tetapi tidak dengan bahasa visual dari foto-foto yang dipamerkan. Kesemuanya dapat mengedukasi, selalu mengasah hati kita. Seperti terucap Y.M. Dalai Lama XIV Tensin Gyatso mengenai cinta kasih yang merupakan akar kemanusiaan.

Demikian ucapannya; Jika seorang yang sakit dirawat oleh dokter yang memberikan perhatian dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, maka orang tersebut akan merasa tenteram dan kepedulian dokter itu akan merupakan obat kesembuhan baginya, terlepas dari tingkat kepandaian dokter tersebut.


Sebaliknya, jika seorang dokter kurang rasa kemanusiaannya dan memperlihatkan rasa acuh tak acuh, maka kondisi pasien akan merasa gelisah, walaupun dokter tersebut adalah dokter paling pandai dan penyakitnya telah didiagnosa secara tepat. Tidak dapat disangkal bahwa perasaan seseorang pasien mempengaruhi penyembuhannya.*) 

Selasa, 20 Desember 2016

INGAT KOPI, INGAT TRANSPORTASI (PUBLIK)

Gubernur Ridho Mempromosikan Lacofest/Ist
Provinsi Lampung baru saja menyelenggarakan Lampung Coffee Festival (Lacofest) yang dihelat pada 7-8 Desember 2016 bertempat di Mal Boemi Kedaton (MBK). Ajang ini (dari yang terangkum di berbagai media) disebut-sebut sebagai even perkopian yang wah. Visi misnya jelas. Guna memperkenalkan atau mempromosikan kopi Lampung ke level lebih tinggi. Menilik jadwal acara, even dua hari ini cukuplah dikemas apik.

Ada perang barista, bincang dengan barista untuk menguak rahasia nikmatnya kopi Lampung,  hiburan bersama grupband nasional, minum kopi bersama komunitas, dan workshop mengenai kopi Lampung. Antusiasme juga ditularkan oleh orang nomor satu daerah ini, Gubernur Ridho turut berpartisipasi menjadi pembicara di workshop perkopian Lampung. Selain juga wara-wiri menjadi bintang iklan Lacofest di suratkabar, media online dan baliho super besar dekat bundaran Tugu Adipura, Bandar Lampung.

Media-media yang meliput Lacofest juga tak sebatas lokal. Media nasional (tapi tak usah disebut nama medianya deh) turut meliput dan memberitakan. Tentu menjadi suatu kebanggaan bilamana media lokal dan nasional antusias meliput dan memberitakan. Khusus media nasional (melalui publikasi di media mereka), artinya even dan produk yang melatarbelakangi diselenggarakannya gawean kopi ini menjangkau khalayak se-nusantara (baca: dibaca dan diketahui) – malah tak tertutup kemungkinan mancanegara. Lampung dan kopi Lampung jadi lebih dikenal oleh publik dan syukur-syukur diingat plus dipenasari (orang ingin tahu, ingin mencoba) yang imbasnya berkontribusi pada berbagai sektor daerah. Salah satunya adalah pariwisata.

Tersebar Seluruh Penjuru Lampung
Berbicara kopi Lampung, akan menjadi rangkaian yang panjang. Mengapa? Sebab ia memiliki sejarah (juga panjang), telah ada sejak zaman Belanda menduduki Indonesia, dan dalam historis tadi terangkum berbagai jenis (varian) kopi, lokasi dan sebagainya. Lampung dikenal sebagai penghasil kopi terbesar di Indonesia. Dikutip dari Lampung.antaranews.com (publikasi 19/11/2015), Kepala Dinas Perindustrian Lampung, Toni L. Tobing mengatakan Lampung adalah penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia dengan luas areal 154.168 hektar. Sebanyak 70% ekspor kopi nasional berasal dari Lampung. Biji kopi jenis robusta merupakan andalan dari kopi Lampung, malah identik.

Meskipun satu jenis, yakni robusta – rasa kopi (hasil seduhan) berbda-beda. Faktor-faktor penyebab perbedaan ini antara lain lokasi penanaman pohon kopi, waktu penanaman atau pemanenan (petik) biji kopi, cara tanam atau metode tanam, usia pohon kopi, cuaca sekitar kebun kopi, cara pengolahan. Intinya dipengaruhi oleh beragam faktor. Jadi jangan dipukul rata.

Kopi Robusta yang ditanam di Ulubelu (Tanggamus) rasanya pasti berbeda dengan kopi robusta yang ditanam misalnya di Liwa (Lampung Barat), kopi Lampung Timur, kopi Pesawaran dan di masing-masing kabupaten, masih terbagi lagi wilayah penanamannya. Provinsi Lampung sendiri, hampir di semua kabupaten terdapat perkebunan kopi. Entah itu diusahakan secara mandiri, kelompok tani atau perusahaan.

Jangan heran pula bervariasinya wilayah penanaman menjadikan Lampung dibanjiri oleh berbagai merk kopi. Mulai dari yang telah melegenda karena telah eksis 100 tahun (satu abad), contohnya Kopi Lampung Cap Bola Dunia. Puluhan tahun, contohnya Kopi Naga Sakti. Hingga yang baru seumur jagung. Menurut saya, ini merupakan hal positif dalam dunia perkopian Lampung dan seharusnya tidak berhenti pada setelah menjadi produk atau brand saja. Ada hal lain yang dapat diberdayakan.

Destinasi Wisata Kopi
Afternoon Coffee/Ist 
Saya menyebutnya destinasi wisata kopi atau biar lebih mudah diingat destinasi kopi. Lho kok? Ya memang demikian, karena tempat-tempat wisata yang dikunjungi berkaitan atau berbasis kopi. Kita bisa datang ke Ulubelu, melihat kebun kopi, melihat bagaimana aktivitas warga sekitar dalam mengelola dan mengolah kopi-kopi mereka, menikmati sejuknya udara alam sana (yang pasti sangat berbeda dengan kota ya). Belajar mengenai kopi lokal dan mencicipi langsung minuman kopi disana. Membayangkan sruputannya saja, telah membuat saya bersemangat 45.

Apalagi bila dapat diwujudkan, rasa bahagia memuncak di level yang tak terjemahkan oleh kata. Sebagaimana yang telah saya sebut sebelumnya, bahwa hampir di seluruh penjuru Ruwa Jurai dapat ditemui kebun kopi, dari Barat-Timur, Selatan-Utara. Seharusnya juga menjadi mudah untuk berkunjung ke perkebunan kopi lokal, andaikata didukung (paling utama) transportasi publik yang mumpuni.

Akan tetapi (ini pangkal soalnya) realitasnya kan tidak. Sebagai contoh, bila kita hendak ke Liwa, Lampung Barat – ada trasnportasi umum berupa bus dan travel. Saya pernah tanya-tanya hal ini ke kawan yang memang asli orang sana dan sering mudik ke kampung halamannya. Jalan menuju kesana pun, dikatakan seorang sopir travel ke Liwa, bagus. Hanya berkelok-kelok saja lantaran kontur alam di Bumi Beguai Sai Jejama didominasi perbukitan.

Lalu, bagaimana dengan harga atau tarif transportasinya? Inilah yang perlu dibenahi. Sepengingat saya, bila menggunakan jasa travel, tarifnya diatas Rp50 ribu. Sedangkan menggunakan bus antar kabupaten menjadi lebih murah tapi tetap dalam harga berdigit tiga. Sampai disini saya berpikir, setelah dihitung-hitung kok lumayan juga ya biaya yang harus dikeluarkan untuk pulang pergi (pp) kesana. Padahal destinasi yang dituju masih satu provinsi. Saya ke Jakarta (yang notabene luar provinsi Lampung) hanya habis Rp100-300 ribu PP via darat.

Fokus Transportasi Publik
Tajuk Lampung Post (Lampost) edisi Senin, 28 November 2016 berjudul Membumikan Destinasi Lampung menyoroti hal ini. Mengutip tajuk disebutkan sektor pariwisata Lampung menunjukkan tren positif setiap akhir pekan. Antrean kendaraan memadati kawasan wisata di sejumlah daerah di Lampung. Terlebih saat libur panjang, jalanan makin dipadati kendaraan dari luar kota. Mereka (para wisatawan tadi) terutama dari Jabodetabek dan Sumatera Selatan.

Data statistik menunjukkan pesatnya industri wisata Lampung dalam beberapa terakhur terakhir. Pada 2014 terdapat 4 jutaan kunjungan wisata, kemudian naik menjadi 5 jutaan pada 2015. Wisatawan domestik naik sekitar satu jutaan orang. Sedangkan wisatawan mancanegara naik belasan ribu orang. Tajuk juga menyinggung soal festival-festival besar yang selalu dihelat setiap tahun oleh pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten (pemkab) serta tak ketinggalan mengenai jalan.

Aha, ini dia yang saya keluhkan selama ini. Betapa susahnya (jalan rusak), dan mahalnya biaya transportasi publik menuju destinasi-destinasi wisata Lampung. Jadi berkaca dari fakta lapangan, sebaiknya pemerintah daerah (pemda) fokus menggarap transportasi publik yang oke. Jangan melulu membikin festival atau membenahi kawasan wisatanya saja.

Menyediakan transportasi publik bukanlah hal yang mudah. Bukan sebatas jalan mulus hotmix saja. Perlu pengelolaan secara serius dan profesional serta berkontinuitas. Ada detailnya karena jalan mulus hotmix perlu dirawat agar terjaga selalu kemulusannya, moda publik yang melewati jalan hotmix tadi; apakah biayanya terjangkau semua kalangan, jam operasionalnya apakah efektif, lokasi-lokasi pemberhentian, bagaimana sisi keamanan jalan yang dilintasi (ingat begal yang masih merajalela di jalan lintas kabupaten dan provinsi), sisi keamanan dari kelayakan moda transportasi dan individu pembawanya (sopir), dan lain-lain.

Semua itu harus diberikan perhatian dan tindakan. Coba, buat apa Lampung punya kopi terenak sedunia kalau untuk menuju ke daerah penanaman kopinya bikin tongpes (kantong kempes) saking mahal biaya transportasi yang mesti dikeluarkan; mual-mual dan muntah alias senep karena jalan rusak; dan sepanjang perjalanan diliputi ketakutan akan menjadi korban begal sadis tak bertanggung jawab?

Kalau saya secara pribadi lebih menginginkan dan mengharapkan Lampung sebagai destinasi wisata warga luar tak saat libur panjang saja alias ramai sesaat. Saya mengharapkan Lampung sebagai destinasi wisata warga luar tuh ramai sepanjang waktu dan mereka (para wisatawan yang datang) bisa tahu bahwa produk unggulan Lampung tak sebatas kopi. Ada banyak hal lain, seperti kekayaan dan kearifan budaya lokal (local genius), alam yang menetramkan, keunikan yang tidak didapat dari daerah lain.

Kalaupun mereka bisa meminum kopi Lampung, mereka dapat menikmatinya tak sebatas saat ada even bertemakan kopi (yang diadakan di mal). Lebih daripada itu, mereka bisa meminum langsung di daerah penghasilnya kapan pun dan tak mungkir meninggalkan kesan tak terlukiskan melalui kata. Hanya rasa yang abadi. Tapi tanpa transportasi publik yang baik plus membumi, sia-sialah kita selalu berkoar tentang memajukan pariwisata daerah. Sebagai pembanding, saya di Jakarta pernah membikin janji bertemu kawan di sebuah pusat perbelanjaan daerah Jakarta Timur.

Sementara saat itu, saya menumpang kawan yang berlokasi di Jakarta Barat. Mau tahu berapa ongkos yang saya keluarkan? Dari Jakarta Barat ke Jakarta Timur alias ujung ke ujung hanya habis ongkos Rp8 ribu PP menggunakan moda publik Trans Jakarta. Perjalanan jauh melewati banyak perhentian halte jadi tak terasa karena bus yang nyaman berhembus AC, bahkan saya sampai tertidur di perjalanan. Bisakah Lampung seperti itu?*

Note: Artikel kopi yang dimuat dalam Lampost edisi Selasa, 20 Desember 2016 ini saya kerjakan di kost-an kawan yang berlokasi di Kebon Jeruk alisa Bonjer, Jakarta Barat. Hanya butuh beberapa jam untuk mengerjakannya (plus-plus mengetik dan mengedit). Omong-omong, kok saya bisa terdampar di Bonjer? Ya ha, ceritanya saya ke Jakarta untuk menjalani proses pengobatan penyakit lupus.

Berobat jalan, menulis pun jalan terus. Begitulah motto saya. Writing everywhere, writing anytime....      

Kamis, 15 Desember 2016

GELE HARUN, K.H. A. HANAFIAH DAN SDL

Alm. Gele Harun Nasution/Wikipedia.org
Jumat, 30 September 2016 atau seminggu yang lalu, bertempat di aula Dinas Sosial Provinsi Lampung telah dilakukan rapat pengusulan eks Residen Lampung Mr. Gele Harun Nasuition dan tokoh pejuang daerah Lampung K.H. A. Hanafiah menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Sebelumnya, kedua tokoh ini pada setahun lalu (2015) telah ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung.

Rapat pengusulan sekaligus penandatanganan yang menandakan dimulainya proses menjadi pahlawan nasional ini merupakan langkah positif dan patut diapresiasi sebaik-baiknya. Sebab (seandainya) beliau berdua lolos seleksi gelar Pahlawan Nasional maka akan bertambah lagi, pahlawan dari Bumi Ruwa Jurai yang dikenal secara nasional. Hal tersebut pastilah suatu kebanggaan tak terhingga.

Namun, langkah menjadikan beliau berdua nampaknya menjadi jalan yang cukup terjal, dan pada sisi lain – merupakan sebuah sentilan bagi sejarah daerah Lampung (SDL) dan kelampungan kita.

Proses Panjang di Literatur
Dikutip dari beberapa media lokal, Drs. Maskun, M.H., Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) mengatakan ada tujuh tahapan yang harus dipenuhi dalam proses pengajuan pahlawan daerah menuju pahlawan nasional, yang antara lain harus ada rekomendari dari Gubernur Lampung, rekomendasi dan sidang pengusulan dari TP2GD, riwayat hidup calon pahlawan nasional, biografi serta sudah dilakukan seminar nasional.

Untuk Mr. Gele Harun, lanjutnya, literaturnya telah ada – yang ditulis sendiri oleh Mulkarnaen Gele Harun (anak keenam dari almarhum) dan keluarga besarnya. Buku tersebut diluncurkan setahun yang lalu, tepatnya Sabtu, 20 September 2016. Kebetulan pada saat itu, saya masih bekerja di media online lokal dan ditugaskan untuk meliput kegiatan peluncuran buku. Satu hal yang paling saya ingat, Mulkarnaen penuh haru sampai berlinang airmata saat berbicara di depan mikrofon, mengisahkan perjuangan ayahnya (bersama K.H. A. Hanafiah) dalam mempertahankan Lampung supaya tetap ada dan menjadi bagian dari NKRI.

Sebaliknya untuk K.H. A. Hanafiah, menurut Maskun, agak sulit lantaran sampai saat ini masih minim (atau bahkan tiada) literatur (biografi) yang membahas mengenainya. Walaupun dalam hal kesaksian, tidak diragukan. Salah seorang yang menjadi saksi hidup dari perjuangan K.H. A. Hanafiah (dan Mr. Gele Harun) ialah K.H. Arief Makhya, yang dapat menceritakan atau memberi kesaksian mengenai perjuangan keduanya.

Apa yang diungkapkan oleh Maskun pada satu sisi adalah fakta karena memang benar (sepengetahuan saya) sangat sulit atau bahkan tiada literatur sejarah yang mengurai mengenai K.H. A. Hanafiah atau apabila ada – bisa jadi terpencar-pencar (dan ini perlu disatukan yang pasti memerlukan waktu panjang).

Sedangkan pada sisi lain, apa yang dinyatakan oleh Maskun merupakan sentilan bagi historiografi sejarah pahlawan dan sejarah daerah Lampung.
  
Lampungisme Sebuah Retorika?
A.L. Rowse, sejarawan dan sastrawan ternama asal negeri Ratu Elizabeth, dalam bukunya Apa Guna Sejarah? (diterbitkan oleh Komunitas Bambu, 2014) memaparkan beberapa kemanfaatan atau kegunaan daripada mempelajari sejarah (sebagai sebuah ilmu pengetahuan). Apa?

Menurutnya, sejarah memungkinkan kita memahami, lebih dari disiplin lainnya, berbagai peristiwa, masalah dan tren umum terkini. Jika Anda tak memahami dunia tempat Anda tinggal, Anda hanya akan menjadi lelucon dan menjadi korbannya (kebanyakan orang memang seperti itu. Namun tidak ada alasan untuk menjadi salah satu dari mereka. Memahami sejarah menjadi satu-satunya emansipasi kita).

Membaca peryataan Rowse tadi, membuat kita tersenyum dan lebih ekstrem lagi, tertawa. Pasalnya yang ia katakan itu kok sungguh klop dengan kondisi historiografi dan posisi sejarah daerah Lampung kita selama ini. Minim atau ketiadaan literatur mengenai K.H. A. Hanafiah memperlihatkan betapa kita telah abai sehingga menjadi lelucon dan menjadi korbannya; dan semakin aneh, mengapa kita kok tahan berada dalam kondisi serupa ini menahun? Dan mengapa pula setelah mengetahui kondisi seperti ini, kok tiada usaha lekas-lekas untuk ah katakanlah menebusnya.

Buku Biografi Alm. Gele Harun Nasution/Ist
Begitupun dengan literatur untuk Mr. Gele Harun yang meskipun ada, baru digarap serius dan diluncurkan di tahun 2015 alias setahun lalu serta yang menulisnya ialah keluarga almarhum. Bukan dari pihak pemerintah daerah (pemda). Padahal peranan dan jasa beliau terhadap Lampung berpuluh tahun lebih lama dari buku tersebut diluncurkan dan tentu saja tidak diragukan lagi. Dikutip dari laman lampungheritage.com, Gele Harun Nasution ialah Acting Residen Lampung (kepala pemerintahan darurat) dari 1949-1955.

Kronologis pengangkatannya berawal dari Agresi Militer II yang dilakukan oleh Belanda. Pada tahun 1949, saat tentara Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang, begitu keluar yang pertama kali dicari adalah rumah Gele Harun. Karena itulah, dia langsung memboyong keluarga dan stafnya ke Pringsewu. Pada 5 Januari 1949, di sebuah pendopo di Pringsewu diadakan musyawarah guna menentukan pemerintahan Karesidenan Lampung. Rapat kecil ini lantas memustukan mengangkat Letkol Mr. Gele Harun sebagai Acting Residen Lampung menggantikan Residen Rukadi yang berada di Tanjungkarang yang kala itu masih diduduki Belanda.

Seandainya beliau tidak menereima posisi tersebut maka, Lampung tak lagi menjadi bagian dari NKRI saat itu.

Sampai disini, saya berkontemplasi, dimanakah kelampungan kita? Seberapa besar kah kadar lampungisme kita? Lalu dimanakah peranan para sejarawan dan guru sejarah kita? Dimana, dimana, bagaimana, bagaimana? Ah ya, saya baru ingat (lagi) bahwa Lampung tidak memiliki Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang mana ilmu sejarah dan Lampungisme (apabila ada FIB) masuk dalam lingkup fakultas tersebut. Program studi yang dimiliki oleh Universitas Lampung – universitas kebanggaan kita – barulah sebatas FKIP yang lebih menitikberatkan pada pendidikan sejarah dan mencetak guru sejarah.

Justru sejarawan-sejarawan yang menggarap Lampung beserta isinya kebanyakan dari luar Lampung atau bukan anak daerah sendiri. Perhatian dari pemda pun – menurut amatan saya – masih minim. Coba, berapa besar anggaran untuk mengkaji – contohnya saat ini, peranan Mr. Gele Harun dan K.H. A. Hanafiah? Jangan-jangan dana untuk pengkajian itu bukan dari pemda, melainkan dari kantung pribadi keluarga almarhum.

Penulis Afrika Amerika, Marcus Garvey dalam salah satu quotes-nya yang terkenal menulis demikian a people without the knowledge of their past history, origin and culture lake a tree without roots. Kutipan Garvey memang mencerminkan kondisi di Bumi Ruwa Jurai. Tak mengherankan bila begal bertumbuh subur dan mirisnya para begal ini berasal dari kalangan muda usia – yang idealnya menjadi pemuda produktif membangun daerah dan negara. Bahkan banyak dari mereka yang kiprah kebegalannya telah menasional malah tak segan-segan bertindak sadis ketika melancarkan aksinya. Contohnya aksi begal di Cipondoh, Tangerang dalam bulan Juni 2016 lalu. Setelah diidentifikasi oleh pihak kepolisian setempat, diketahui bahwa kedua begal ini berasal dari Negara Batin, Jabung, Lampung Timur dan berusia 26 tahun.

Kemudian pembangunan pun menjadi kurang jelas atau kurang mantap arah pijakannya. Cukup sering saya bertanya, provinsi Lampung ini hendak membangun yang bagaimana dan menjadi daerah apa?

Menyikapi fakta kekinian ini, patut kita renungi sekaligus bergegas mengambil langkah atau kebijakan nyata. Dalam blue print versi saya – yang paling utama harus dilakukan ialah mendirikan FIB (dengan salah satu cabang ilmu didalamnya adalah Sejarah Daerah Lampung (SDL). Kemudian memperkuat peran guru sejarah dalam menyebarluaskan atau mendidik siswanya mengenai tokoh-tokoh atau pahlawan daerah Lampung dalam perjuangan – baik sebelum, sesudah kemerdekaan termasuk masa kini.

Tujuannya menanamkan Lampungisme sejak dini atau muda usia. Makin muda, makin baik supaya kecintaan dan apresiasinya makin meresap. Jangan sampailah para anak muda menjadi lelucon sesat sejarah daerahnya, misalnya menyebut Mr. Gele Harun sebagai mister. Padahal Mr merupakan kependekan gelar sarjana hukum warisan Belanda, yaitu mester in de rechten. Mempelajari sejarah, membuka mata batin kita akan daerah Lampung yang sekarang kita tempati.

Omong-omong soal guru sejarah, saya punya cerita lucu dan agak aneh. Sebutlah dia adik tingkat saya di FKIP prodi Pendidikan Sejarah Unila (dulu). Sekarang dia telah menjadi guru sejarah di kabupaten dari provinsi Lampung. Menarik sekaligus lucunya adalah postingan statusnya yang selalu berbau Korea. Misalnya saat drama Korea Descendant of Sun sedang booming di Indonesia dan Asia, status-status postingannya selalu mengenai Kang Mo Jin dan lain-lain (tokoh yang diperankan oleh aktris cantik asal Korea Selatan, Song Hye Kyo) atau kekecewaannya melewatkan menonton drama Korea tadi.

Secara HAM, hal tersebut ialah haknya. Tetapi secara profesi, menjadi antiklimaks. Jangan heran dengan kondisi seperti itu, nama-nama aktris dan aktor lebih familiar di kalangan pelajar daerah Lampung atau anak kuliahan ketimbang nama Pahlawan Daerah Lampung. Lha, guru sejarahnya Koreaisme kok. Bukan Lampungisme.

Rowse menulis, sejarah merupakan kajian dengan sifat manusia, sepanjang waktu, termasuk biografi tokoh besar sejarah dan itulah sebabnya mengapa mempelajari sejarah sangat bermanfaat. Dalam kaitannya dengan SDL, supaya kita tahu (para anak muda, begal, koruptor dan orang-orang jahat asal Lampung) pun orang-orang baiknya, mengetahui plus meresapi amat sangat bahwa provinsinya tidaklah ada dalam sekejap – melainkan ada karena proses panjang yang terdiri dari usaha, cinta, darah dan airmata dari pahlawan-pahlawan daerah seperti Mr. Gele Harun Nasution, K.H. A. Hanafiah, dan lain-lain.*


Sedikit catatan; artikel ini sungguh berkesan bagi saya. Pasalnya ditulis semasa saya diopname empat hari di Rumah Sakit Advent (RSA) Bandar Lampung. Saat itu, pada Rabu, 5 Oktober 2016 kondisi saya dinyatakan drop karena lupus. Internis yang selama ini menangani, menyarankan saya rawat inap. 

Nah selama dirawat inap itulah saya mengerjakannya. Tak secara terus menerus. Dicicil karena saya dalam kondisi kurang sehat. Sekitar 1-2 jam setiap hari saya menulis, diselingi istirahat kalau lelah.

Naskah ini lantas saya kirim ke Lampung Post dan dipublikasikan pada Selasa, 18 Oktober 2016. Alamat online-nya http://www.lampost.co/berita/gele-harun-kh-a-hanafiah-dan-sejarah-lampung. Tanpa disangka, di sore hari yang sama dengan tanggal publikasi, anak almarhum Gele Harun Nasution yakni Pak Mulkarnaen Gele Harun menelpon saya. Dalam nada perbincangan, tersirat apresiasi dirinya terhadap artikel yang saya tulis. 

Minggu, 28 Februari 2016

MENANTI GEBRAKAN NUNIK

Chusnunia Chalim, Bupati Lampung Timur - dok. Lampung Post
Tulisan ini sebenarnya telah sejak Desember 2015 lalu hendak saya kerjakan. Namun karena kesibukan (plus kecapekan) pekerjaan kala itu, menjadi tertunda-tunda dan tanpa sadar telah berjalan hingga dua bulan. Tulisan ini sendiri (saat itu) terinspirasi sekaligus untuk menanggapi opini Rahmatul Ummah yang berjudul Chusnunia dan Hegemoni Patriaki.

Opini tersebut dimuat dalam surat kabar Lampung Post (Lampost) bulan Desember 2015, sekira beberapa hari setelah pilkada serentak 9 Desember 2015 dilaksanakan. Lalu hasil hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei dan rekapitulasi suara form C-1 Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau real count, diumumkan. Namun untuk penghitungan suara oleh KPU pada saat itu belum semuanya. Berdasarkan hasil, baik quick count atau real count, semuanya sama-sama menempatkan Chusnunia Chalim sebagai peraih suara terbanyak pada pilkada Kabupaten Lampung Timur (Lamtim).

Ia yang berpasangan dengan Zaiful Bokhari meraih 54,07% (versi Rakata Institute) dan 53,14% (versi KPU). Sedangkan pesaingnya, Yusron Amirullah-Sudarsono meraih 45,93% (versi Rakata Institute) dan 46,86% (versi KPU).

Inilah yang menjadi sentral dari Rahmatul Ummah, mengenai Nunik (panggilan akrab Chusnunia Chalim) yang secara gender merupakan kaum hawa namun berhasil memenangi pertarungan pilkada yang notabene dunia politik dan identik dengan kaum adam. Menurut penggiat Pojok Samber itu, kemenangan Nunik  adalah wujud terpatahkannya dunia politik dan demokrasi oleh hegemoni patriaki. Terpilihnya Chusnunia menjadi simbol baru keberhasilan perempuan dalam memutus mata rantai tradisi hegemoni patriarki, meruntuhkan mitos pemimpin harus laki-laki, sekaligus menjadi bukti kuat bahwa isu-isu misoginis dan bias gender yang melibatkan sentimen keagamaan sudah mulai kabur dan tak berpengaruh, dan tak tanggung. Demikian ia menulis.

Dilanjutkannya, sejumlah optimisme lahir, karena selain dianggap kepemimpinan perempuan sebagai hal yang langka, sosok Chusnunia juga masih muda dan produktif untuk menggantungkan banyak harapan perubahan. Gairah, kreativitas, dan produktivitas anak muda memajukan daerah dan menyejahterakan rakyatnya. 

Terhadap pernyataan yang dikemukakan oleh Rahmatul Ummah, saya punya pandangan berbeda alias tidak setuju. Selain itu mengenai sosok Chusnunia yang kini telah resmi menjabat bupati, dalam statusnya itu, saya punya sedikit argumen.

Tidak Memutus Mata Rantai Tradisi Hegemoni Patriaki
Apakah iya kemenangan Nunik artinya memutus mata rantai  tradisi hegemoni patriaki? Ini yang segera terpikir usai saya membaca tulisan sekaligus pernyataan Rahmatul Ummmah tadi. Menurut saya adalah tidak. Mengapa?

Jika disebut sebagai memutus mata rantai maka seharusnya ada kontinuitas (keberlanjutan yang konsisten). Lebih jelasnya begini; setelah kemenangan Nunik lalu lima tahun ke depan saat pilkada digelar atau pilkada beberapa kabupaten di Lampung yang rencananya digelar tahun ini, ada kandidat perempuan dan ia – sama seperti Nunik – mampu memenanginya. Tambahan tak hanya satu, melainkan ada beberapa.

Kemenangan Nunik ini, saya kira lebih tepat sebagai ‘trigger’ atau pemicu saja. Sementara kenyataannya, dunia perkepaladaerahan itu harus diakui masih didominasi lelaki.

Jika mengikuti, menangnya Chusnunia juga belum tentu berarti yang bersangkutan sungguh-sungguh mendapatkan hati dalam masyarakat Lampung Timur. Meskipun Nunik bukanlah sosok asing di Lamtim. Mengapa? Sebab pada awalnya ada tiga pasang calon kepala daerah yang akan bertarung. Selain Chusnunia Chalim-Zaiful Bokhari, Yusron Amirullah-Sudarsono, ada Erwin Arifin-Prio Budi Utomo. Sayangnya di tengah persaingan menuju pilkada, wakil Erwin itu, meninggal dunia. Sempat terjadi tarik ulur apakah Erwin dapat tetap melaju meskipun tanpa wakil. Namun akhirnya KPU setempat yang sebelumnya telah berkonsultasi dengan KPU Provinsi dan Pusat menyatakan ia tak dapat meneruskan ke Lamtim 1.

Erwin sendiri ialah calon kepala daerah dari pertahana. Beliau merupakan Bupati Lamtim periode 2012-2015. Erwin seandainya dibolehkan tetap maju – mungkin mampu meraih suara yang cukup banyak mengingat dia eks bupati di kabupaten berjuluk Bumei Tuwah Bepadan. Loyalitas suara diperkirakan berasal dari birokrat di pemkabnya itu. Namun karena ia tak dapat maju maka suara-suara pastilah terpecah dan menyebar.

Bupati Perempuan Pertama di Lampung
Sebagaimana kita ketahui, pada Rabu 17 Februari 2016 lalu, Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo melantik kedelapan pasang kepala daerah terpilih. Dalam barisan nampak dua orang perempuan di mana salah satunya ialah Chusnunia Chalim. Ditinjau dari sisi emansipasi dan empati wanita, secara pribadi – saya turut bangga terhadap pencapaian yang diraih oleh Chusnunia.

Akan tetapi bersamaan itu, harus pula diakui ada semacam kekhawatiran atau pesimistis saat kepemimpinan telah berjalan. Rahmatul Ummah dalam opininya menulis sejumlah optimisme lahir, karena selain dianggap kepemimpinan perempuan sebagai hal yang langka, sosok Chusnunia juga masih muda dan produktif untuk menggantungkan banyak harapan perubahan. Gairah, kreativitas, dan produktivitas anak muda memajukan daerah dan menyejahterakan rakyatnya.

Di atas kertas, hal tersebut benar adanya. Kaum muda identik dengan semangat, kreatif, energi tiada henti, agent of change. Bung Karno dalam salah satu pernyataannya yang melegenda bahkan mengatakan ‘beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia’. Jangan dilupakan juga, peristiwa menjelang sampai merdekanya republik ini – para golongan muda lah yang punya andil besar.

Hanya, apa yang di atas kertas tadi belum tentu demikian adanya di kenyataan. Tak diragukan pengalaman Chusnunia dalam dunia politik telah banyak meskipun ia baru berusia awal 30 tahunan. Pernah menjadi legislator di Senayan selama dua periode (2009-2014 dan 2014-2019). Pengalaman yang pernah dicecapnya itu, pasti menjadi bekal berharga. Nah yang tak boleh dilupakan ialah posisinya.

Sebagai legislator, dia dalam posisi mendengarkan curhatan masyarakat dan memperjuangkan aspirasi warga. Dia dalam posisi yang ‘mengkritisi’ pihak pemerintah. Sedangkan sekarang, posisinya sebagai bupati memindahkannya ke pihak eksekutif. Langkah mendengar dan memenuhi aspirasi masyarakatnya masih bisa diterapkan. Namun menyoal kritik, dengan kondisi sekarang malah ialah yang menjadi sasaran dikritik apabila kinerja atau kebijakannya tidak maksimal.

Terus terang, menjadi pengkritik itu jauh lebih enak ketimbang menjadi sasaran kritik. Nah inilah tantangan pertama yang harus dihadapinya. Apakah sebagai kepala daerah mau mendengarkan atau mengabaikan kritik? Bersikap bijak dan positif terhadap kritik ataukah sebaliknya?

Lalu, birokrasi bagaimanakah yang hendak dibentuknya? Kembali ke soal muda, idealnya pemerintahannya itu dapat memancarkan aura energik, semangat, penuh inovasi, kreativitas tiada henti. Pokoknya yang lekat dengan anak muda. Bercermin dari pengalaman ini pula ketika M. Ridho Ficardo terpilih dan dilantik sebagai Gubernur Lampung. Usia Ridho saat itu kira-kira sepantaran Nunik. Ternyata dalam perjalanannya , kepemimpinan gubernur muda ini masih jauh dari memenuhi ekspetasi warga Lampung. Malah tak jarang dia menjadi bulan-bulanan di kalangan akademisi yang bergiat di bidang politik dan pemerintahan atau warganya sendiri.

Semangat muda tak nampak selama kepemimpinannya. Bingung justru yang terlihat yang ditunjukkan oleh betapa seringnya dia bongkar pasang (baca: memutasi) pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.

Jadi hal tersebut dapat menjadi cerminan. Apalagi Lamtim sebagai kabupaten memiliki masalah yang kompleks. Sebut saja begal. Saya melihat, sebenarnya posisi Chusnunia sebagai Bupati Lamtim bukanlah semata jabatan politik dan pemerintahan saja. Melainkan sebagai pertaruhan.

Sebagai bupati perempuan di Lampung, ia mencatat sejarah. Tetapi sejarah bagaimanakah yang hendak ditorehkannya selama memimpin Lamtim? Itu masih tanda tanya. Yang jelas andaikata baik maka sejarah mencatat dengan puja puji dan kebanggaan. Namanya dan sosoknya bakal disanjung-sanjung bagaikan Tri Rismaharini yang Wali Kota Surabaya itu.

Sebaliknya bila buruk maka sejarah akan mencatat dengan cerca dan penyesalan. Lebih jauh lagi, bisa muncul atau semakin kuat persepsi bahwa dunia kepala daerah memang adalah dunianya lelaki. Mungkin yang lebih sederhana, seandainya Nunik sanggup menggubah image Lamtim sebagai kabupaten sarang begal menjadi kabupaten sentra durian cap jempolan. Karena kabarnya, durian di sana rasanya top markotop!

Sedikit catatan; ketika mengirimkan artikel ini ke Lampost, saya menyematkan judul Menanti Gebrakan Chusnunia, Bupati Perempuan Pertama Lampung nan Muda. Mungkin karena terlalu panjang dan kepraktisan, judul asli tersebut diganti oleh redaksi Lampost.

Artikel dimuat dalam Lampost edisi Rabu, 24 Februari 2016. Sedangkan versi online dapat diakses di http://lampost.co/berita/menanti-gebrakan-nunik.